Sabtu, 15 Agustus 2009

indonesiaku

Indonesia Raya, Riwayatmu Dulu
Judul Buku : Indonesia Raya Dibredel
Penulis : Ignatius Haryanto
Pengantar : Dr David T. Hill
Penerbit : LKiS, Jogjakarta
Cetakan : I, Agustus 2006
Tebal : xxviii + 327 halaman
"Our chief interest in the past is as a guide to the future" (W.R. Inge).
Apakah zaman yang melatari pembredelan Indonesia Raya masih perlu untuk diingat? Apa relevansi sebuah buku yang menceritakan kejadian 32 tahun lalu bagi kaum pembaca kini? Mengapa harus terus-menerus diungkit oleh para sarjana yang seolah-olah menggaruk borok, membuka rahasia, menusuk luka lama?
Jawabannya jelas, seperti pepatah W.R. Inge di atas, bahwa kita paling tertarik pada masa lalu karena ia pemandu kita pada masa depan. Pembredelan pers pada 1974 adalah fenomena sejarah; sebuah catatan hitam dalam sejarah pers di Indonesia, di mana ada belasan pers ditutup penguasa kala itu, karena penguasa merasa bahwa dengan menertibkan pers, ia menertibkan politik. Nyatanya tidak demikian. Api semangat Indonesia Raya beserta yang lainnya terus menyala walau telah lama dibungkam.
Ignatius Haryanto, penulis buku ini, hendak mewartakan kepada kita bahwa membayangkan bagaimana kiprah dan sepak terjang pers sebagai pengungkap fakta tentu tak bisa menafikan peran negara dalam melakukan kontrolnya. Maka, tak heran, bila "kelancangan" Indonesia Raya membeberkan kasus-kasus para birokrat pemerintah pada waktu itu, jelas membuat telinga mereka (baca: negara) kepanasan dan seolah ditelanjangi di depan khalayak umum.
Akibatnya, Indonesia Raya dibredel dan dicabut penerbitannya oleh pemerintah bersamaan dengan tragedi kerusuhan 15 Januari 1974 (Malari). Pers atau dalam hal ini Indonesia Raya dituduh pemerintah ikut andil memberikan provokasi yang menyebabkan terjadinya kerusuhan massa. Peristiwa itu sebagai ekses pergerakan mahasiswa yang saat itu melakukan kritik terhadap strategi pembangunan ekonomi Orde Baru. Meskipun di sisi lain, ada pendapat mengatakan bahwa momentum pergerakan mahasiswa bukanlah satu-satunya yang menyebabkan terjadinya peristiwa 15 Januari, tetapi merupakan bagian yang cukup dominan untuk dibicarakan.
Yang pasti, menyimak kebangkitan dan "kisah-hidup" Indonesia Raya memang terasa unik. Setidaknya karena dua hal. Keunikan pertama, karakteristik sajian berita dengan gaya menohok yang mencerminkan karakter pengasuhnya. Siapakah dia? Mochtar Lubis namanya, aktor di balik layar Indonesia Raya, sekaligus sebagai wartawan dan pejuang jurnalis andal.
Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi sangat dominan dalam kepenulisan berita. Dari situ, (mungkin) ada benarnya pendapat sebagian kalangan yang mengatakan bahwa "Indonesia Raya adalah milik Mochtar Lubis", dan LIPI mengistilahkan kondisi ini sebagai personal journalism. Sebagai buktinya, hal itu akan tampak dengan jelas bila menilik beberapa cuplikan liputan beritanya --sebagaimana disajikan pula dalam buku ini--yang dilakukan Indonesia Raya, terutama pada kolom editorial atau tajuk rencana.
Menurut penuturan Rosihan Anwar, Mochtar Lubis membuat masyarakat gempar dengan beberapa berita affair. Pertama, affair pelecehan seksual yang dialami Nyonya Yanti Sulaiman, ahli purbakala dan pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P&K. Indonesia Raya menyiarkan "cerita asyik" tentang sang "Don Juan" Sudarsono. Kedua, affair Hartini, yang mengungkap hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita Salatiga, yang mengakibatkan Nyonya Fatmawati berang dan kemudian meninggalkan istana.
Dan ketiga, affair Roeslan Abdulgani. Pada Agustus 1956, CPM menangkap mantan Menteri Penerangan dalam Kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi seputar kartu suara pemilu yang melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu ditahan.
Karir jurnalistik Mochtar Lubis sebenarnya mulai dikenal ketika ia bergabung dengan kantor berita Antara, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Berkat kemampuan bahasa Inggris-nya yang bagus, ia menjadi penghubung para koresponden asing yang datang ke Indonesia. Akhirnya, menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RI Serikat 27 Desember 1949, ia bersama Hasjim Mahdan mendirikan koran Indonesia Raya yang kritis dan berani itu.
Keunikan kedua, hidup dalam dua periode yang berlainan dan diselingi oleh masa vakum yang cukup panjang (sekitar sepuluh tahun), sehingga perhitungan hidup harian Indonesia Raya terhitung sejak 29 Desember 1949 sampai 2 Januari 1959 untuk periode pertama, dan periode berikutnya dari 30 Oktober 1968 sampai 21 Januari 1974. Perbedaan dua waktu periode itu bergantung pada konteks gejolak politik yang berbeda.
Akhirnya, riwayat surat kabar Indonesia Raya berakhir pasca-tragedi 15 Januari 1974. Dua belas surat kabar dan majalah juga mengalami nasib serupa: Nusantara, Harian Kami, Abadi, The Jakarta Times, Pedoman, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, serta mingguan berita Ekspres, seluruhnya berlokasi di Jakarta; lalu harian Suluh Berita di Surabaya, mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung dan Indonesia Pos di Ujung Pandang (hlm. 13).
Namun demikian, perkembangan pers Indonesia dari zaman ke zaman meski hidupnya tertatih-tatih, melahirkan banyak tokoh penting dan tetap tegar dalam badai kekerasan. Mochtar Lubis hanyalah salah satu di antara banyak tokoh "anak haram" dari rezim otoritarianisme, mulai masa penjajahan Belanda, Orde Lama maupun Orde Baru. Di sana masih ada Tirto Adisuryo, Djamaluddin Adinegoro, Douwes Dekker, Marco Kartodikromo, Rosihan Anwar, Goenawan Mohammad, Jacob Utama, dan generasi muda lainnya.
Mungkin ketika Bataviasche Nouvella --sebagian kalangan berpendapat, pers inilah pertama kali muncul di Tanah Air-- diterbitkan pada 1744, Gubernur Jenderal van Imhoff yang berkedudukan di Batavia belum begitu merasakan bahwa pers adalah potensi anacaman bagi pemerintah kolonial. Sebab, pada saat itu berita-berita yang diliput umumnya berisikan informasi tentang komoditas-komoditas perdagangan potensial di Hindia Belanda.
Namun, zaman terus bergulir dan menempatkan pers sebagai salah satu pilar penyangga demokrasi. Maka, benar apa yang diungkap Jack Synder dalam bukunya From voting to Violence, bahwa media massa (pers) memiliki peran yang besar dalam proses transisi politik dari zaman otoritarianisme menuju arah demokrasi. Masih ingatkah kita pada kasus Bambang Haryamurti yang menyebabkan pembredelan MBM Tempo beberapa tahun lalu?
Mengingat begitu kejamnya rezim saat itu dalam melakukan tindak kekerasan terhadap pers, maka kehadiran buku ini sangat membantu membuka kembali file-file sejarah kelam rezim Orde Lama maupun Orde Baru. Dalam buku ini, Haryanto tidak hanya menyajikan sepak terjang pers Indonesia secara historis-deskriptif, tetapi diselingi analisis yang memadai dalam menguak sisi-sisi lain yang selama ini ditutup-tutupi oleh rezim Orde Baru. Kita hanya bisa mengenang dan mengambil spirit perjuangan dari pers-pers terdahulu yang dibredel oleh pemerintah, termasuk apa yang dialamai Indonesia Raya.

0 komentar:


Blogspot Templates by Isnaini Dot Com and Hot Car Pictures. Powered by Blogger