Sabtu, 15 Agustus 2009

Apakah yang mendorong kita untuk berbuat baik?

Apakah yang mendorong kita untuk berbuat baik?
beberapa teori yang aku ingat:
1. Tuhan, moralitas yang didasarkan pada keyakinan beragama. kelemahan: tidak semua orang berbeda agama, menjadi relatif jika kemudian dihadapkan pada orang yang beragama sama. bahkan tidak semua orang percaya bahwa Tuhan ada. Kejelasan di dalam kitab suci masing-masing agama juga sering multiinterpretasi. sama-sama satu agama pun sering berbeda pendapat.
2. Kalkulasi kebahagiaan, akar dasar ini sampai ke filsuf-filsuf jaman Yunani, sayangnya aku lupa siapa aja... ketawa yang aku ingat adalah J.S. Mill, dengan utilitarianism-nya. kalo aku terjemahkan secara serampangan: manfaatisme, perbuatan baik artinya jika menghadirkan manfaat/kebaikan bagi lebih banyak orang.
singkatnya, orang yang berbuat baik, akan memperoleh kebaikan dari orang lain juga. jika kita jahat, maka orang lain akan berbuat jahat.
tunggu dulu, seandainya kita hidup di jaman Jerman pada saat Nazi berkuasa, mendukung Nazi pasti jadi pilihan yang baik pada saat itu (untuk menyelamatkan diri) walaupun di kemudian hari (sekarang) menjadi pendukung Nazi sepertinya mengundang dunia memusuhimu.
contoh lain misalnya, setelah peristiwa G30S, jika kamu ditodong senjata untuk menunjukkan siapa tetanggamu yang menjadi orang PKI, jika pilihan moral kita adalah menghindari masalah , tentu kita akan dengan mudah menunjuk sembarang orang untuk kita tuduh sebagai PKI (agar kita bisa selamat). Namun, apakah pilihan ini dapat dibenarkan?

Ada semacam teka-teki moral, yang bersumber dari, seingatku Aristoteles (mohon dikoreksi). Cerita tentang 3 orang yang berada di perahu yang hampir karam, 1 orang nelayan, 1 orang dokter, dan 1 orang insinyur. Salah satu dari ketiga orang itu harus dilempar ke laut agar perahu tersebut selamat. Pertanyaannya, siapakah orang yang kamu pilih untuk dikorbankan?

seingatku ada banyak peta dalam pemikiran etika (seperti dalam buku Etika, tulisan Frans Magnis Suseno, aku lali, buku ku wis ilang dab.), aku sangat senang jika ada yang mau menambahkan.

Pertanyaanku, kembali ke judul thread ini:
Apakah yang mendorong kita untuk berbuat baik?
===================================================================
Sedikit tambahan mengenai aliran2 yg menjurus ke arah kalkulasi kebahagiaan/kesenangan:
1. HEDONISME
Yunani: hedone berarti nikmat/kenikmatan
Menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan.
Aspek negatif: manusia menghindari apa yang dapat menimbulkan rasa sakit
Aspek positif: manusia akan mengejar apa yang dapat mencapai rasa nikmat.

>>KRITIK THD HEDONISME
Secara kodrat manusia mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan.
Dalam argumentasi hedonisme terdapat loncatan yang tidak dipertanggungjawabkan. Dari anggapan bahwa kodrat manusia mencari kesenangan sampai pada menyetarafkan kesenangan dengan moralitas yang baik. Jika manusia cenderung kepada kesenangan, apa yang menjamin bahwa kecenderungan itu baik? Ada yang memperoleh kesenangan dengan menyiksa atau membunuh orang lain. Para hedonis memiliki konsepsi yang salah tentang kesenangan. Mereka berpikir bahwa sesuatu adalah baik karena disenangi. Akan tetapi kesenangan tidak merupakan suatu perasaan yang subyektif belaka tanpa acuan obyektif apapun. Kesenangan adalah pantulan subyektif dari sesuatu yang obyektif. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya kita merasa senang karena memperoleh sesuatu yang baik. Kita menilai sesuatu sebagai baik karena kebaikannya yang intrinsik, bukan karena kita menganggap hal itu baik. Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya. Egoisme etis: saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik bagi diri saya sendiri.

2. EUDEMONISME
Yunani: eudaimonia berarti mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, mujur dan beruntung. Eudemonia lebih dititikberatkan pada pengertian suasana batiniah yang berarti “bahagia”, sehingga lebih tepat diartikan sebagai “kebahagiaan”. Hakekatnya kodrat manusia adalah mengusahakan kebahagiaan. Menurut Aristoteles, kebahagiaan seperti kekayaan, uang atau sejenisnya bukanlah tujuan akhir, tapi dianggap untuk mencapai tujuan yang lain. Manusia yang menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik, ia akan mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan.
Fungsi yang khas bagi manusia adalah akal budi atau rasio. Manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya.
Kegiatan-kegiatan rasional harus dijalankan dengan disertai keutamaan-keutamaan.
Ada dua macam keutamaan:
1. Keutamaan intelektual
Menyempurnakan langsung rasio itu sendiri
2. Keutamaan moral
Dengan keutamaan ini, rasio menjalankan pilihan perlu diadakan dalam kehidupan sehari-hari
Rasio menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Keutamaan adalah keseimbangan antara “kurang” dan “terlalu banyak”. Misal: kemurahan merupakan jalan tengah antara kekikiran dan pemborosan.
Manusia baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual.

>>KRITIK EUDEMONISME
Keutamaan yang disebut aristoteles bukan hasil pemikiran sendiri, tetapi mencerminkan pandangan etis dari masyarakat Yunani pada waktu itu, diwarnai suasana eliter karena terutama mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Yunani
Belum melihat paham tentang hak asasi, diman dibenarkan secara rasional lembaga perbudakan, karena ia berpendapat bahwa beberapa manusia menurut kodratnya adalah budak.
Etika Aristoteles dan khususnya ajaran tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk memecahkan dilema moral besar yang kita hadapai sekarang (nuklir, kloning, dsb.)

3. UTILITARISME
- Utilitarisme tergolong dalam dua bagian besar yaitu: klasik dan aturan
- Utilitarisme klasik tumbuh dari tradisi pemikiran moral di Inggris, dikembangkan oleh David Hume (1711) dan dimatangkan oleh Jeremy Bentham (1748)
- Utilitarisme sebagai dasar etis untuk memperbaharui hukum Inggris (pidana).
- Tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara, bukan melaksanakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati
- Bentham mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Pelanggaran yang tidak merugikan orang lain menurut Bentham sebaiknya tidak dianggap sebagai tindakan kriminal
- Menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kebahagiaan. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang.
- Prinsip utilitas Bentham: kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar (the greatest happiness of the greatest number)
- Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda
- Ia mengembangkan the hedonistic calculus. Sumber-sumber kesenangan dapat diukur dan diperhitungkan menurut intensitas dan lamanya perasaan yang diambil daripadanya. Perhitungan tsb akan menghasilkan saldo positif, jika kredit (kesenangan) melebihi debetnya (ketidaksenangan).
Misal: kadar moral dari perbuatan minum minuman keras sampai mabuk. Seandainya tidak ada segi negatif maka keadaan mabuk merupakan suatu yang secara moral baik. Kemabukan harus dinilai secara moral sangat jelek karena keseluruhan saldo sangat negatif.

- Utilitarisme diperkuat oleh filsuf Inggris John Stuart Mill (1806). Ia mengkritik Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur kuantitatif, ia berpendapat bahwa kualitas perlu dipertimbangkan juga (mutu kesenangan). Kesenangan manusia harus dinilai lebih tinggi daripada kesenangan hewan.
Kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja.
- Menurut filsuf Inggris-Amerika Stephen Toulmin dkk., prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita. Suatu perbuatan baik secara moral, bila sesuai dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.
- Utilitarisme ini mengalami kesulitan ketika terjadi konflik antara dua aturan moral

>>KRITIK UTILITARISME
- Keberatan terhadap hedonisme sebagian berlaku juga untuk utilitarisme
- Tidak lagi memuat egoisme etis, karena prinsip “untuk jumlah orang terbesar”. Bentham tidak dapat mempertanggunjawabkan sifat umum (keseluruhan)
- Ia bertolak dari dasar psikologis: manusia mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan (individualistis)
- Prinsip kegunaan bahwa setiap perbuatan adalah baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar, tidak selamanya benar.
Misal: kesenangan yang didapat dengan menyiksa seseorang yang dilakukan oleh banyak orang
- Utilitarisme tidak ada tempat untuk paham “hak”. Padahal hak merupakan suatu kategori moral yang amat penting
- Jika suatu masyarakat mayoritas terbesar hidup makmur dan hanya minoritas yang serba miskin, menurut aliran ini dari segi etis telah diatur dengan baik (kesenangan melebihi ketidaksenangan). Disini dapat dinilai Utilitarisme sebagai sistem moral tidak dapat menampung prinsip keadilan.

*Barangkali aliran inilah yg mendasari pemikiran Nazi dan G30SPKI

4. DEONTOLOGI
- Aliran filsafat moral yang telah diuraikan di atas, lebih berorientasi pada “hasil” perbuatan dalam mencapai tujuan. Dapat dikatakan lebih bersifat teleologis (terarah pada tujuan)
- Berasal dai Yunani “deon”: Apa yang harus dilakukan; kewajiban
- Menurut aliran ini perbuatan moral semata-mata tidak didasarkan lagi pada hasil suatu perbuatan dan tidak lagi menyoroti tujuan yang dipilih dari perbuatan itu, melainkan berdasarkan maksud dan dari wajib atau tidaknya perbuatan moral itu.
- Peletak dasar aliran ini adalah Filsuf besar dari Jerman Immanuel Kant (1724-1804). Menurutnya hanya ada satu kenyataan yang baik tanpa batas, yaitu kehendak baik. Kehendak baik yaitu kehendak yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri. Perbuatan yang dilakukan dengan maksud lain, tidak dapat dikatakan baik. Perbuatan baru memasuki taraf moralitas, apabila dilakukan semata-mata karena kewajiban. Suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata karena hormat untuk hukum moral.
Hakekat kebajikan menurut Kant adalah kesediaan melakukan apa yang menjadi kewajibannya. Hidup bermoral ada hubungan dengan kewajiban, terlepas apakah hal itu membahagiakan ataukah tidak
Kant membedakan Imperatif Kategoris dan Imperatif Hipotetis
>Kewajiban moral mengandung suatu imperatif kategoris, artinya imperatif (perintah) yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Imperatif katogeris ini menjiwai semua peraturan etis. Misalnya: janji harus ditepati, barang yang dipinjam harus dikembalikan
>Imperatif hipotetis selalu diikutsertakan sebuah syarat. Misal: kalau engkau ingin cepat selesai kuliah, maka harus belajar dengan tekun. Kalau tidak mempunyai tujuan (lulus) tidak wajib meneghendaki sarananya (belajar). Kewajiban hanya “hipotetis” (kalau…. Maka)

- Di bidang moral, tingkah laku manusia hanya dibimbing oleh norma yang mewajibkan begitu saja, bukan oleh pertimbangan lain. Dengan hidup menurut hukum moral, manusia tidak menyerahkan diri kepada sesuatu yang asing baginya (heteronom), melainkan mengikuti hukumnya sendiri. Otonomi kehendak pada dasarnya sama dengan kebebasan manusia, sebab kebebasan adalah kesanggupan untuk bertindak terlepas dari penguasaan oleh sebab-sebab asing. Kebebasan tidak berarti bebas dari segala ikatan melainkan manusia itu bebas dengan mentaati hukum moral.
>>KRITIK DEONTOLOGI
- Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang suram dan kaku
- Ada kesan seolah-olah kita berkelakuan baik, hanya jika semata-mata melakukan karena kewajiban.
- Apakah tidak mungkin kita berlaku dengan baik karena kita senang berbuat baik?
- Apakah tidak mungkin kita berbuat baik karena cinta atau belas kasih
- Sulit untuk diterima bahwa konsekuensi bisa diabaikan saja dalam menilai moralitas perbuatan kita
Misal: perbuatan berbohong untuk melindungi nyawa seseorang agar tidak dicelakai atau dibunuh. Jika jujur tentu saja kewajiban untuk tidak berbohong membawa konsekuensi seorang itu dicelakai.

>>>Dilihat dari berbagai pandangan di atas, semua berlandaskan thd pemikiran akan terjadinya kebaikan, tidak peduli apakah dipandang dr sudut subyektif maupun obyektif; dr tujuan, keseimbangan, kewajiban ataupun hasil akhir, menurut pencetus paham inilah yg mendasari terjadinya suatu moral 'baik'. Ada kelemahan di setiap aliran, tapi tidak menjadi alasan bagi mereka untuk disalahkan, karena pd masa2 tertentu paham tersebut pernah menjadi landasan moral yg dianggap benar.
Sbnrnya sy kga ada ngerti2nya soal filsafat, tp boleh dunk skali2 sok2-an ngomong gaya filsuf...

Balik ke pertanyaan awal, apa yg mendorong kita berbuat baik? Terlepas dari aliran/ norma2 di atas, mnurut gw pribadi slama perbuatan itu didasari ketulusan, tanpa ada embel2 di depan/di belakangnya, tidak peduli pendapat org bagaimana/akibatnya apa, yg penting slama hati nurani merasa tenang dan damai, itulah 'kebaikan', dan gw yakin perbuatan itu suatu saat akan mendatangkan kebahagiaan dg caranya sendiri (=karma)

Kutip
Ada semacam teka-teki moral, yang bersumber dari, seingatku Aristoteles (mohon dikoreksi). Cerita tentang 3 orang yang berada di perahu yang hampir karam, 1 orang nelayan, 1 orang dokter, dan 1 orang insinyur. Salah satu dari ketiga orang itu harus dilempar ke laut agar perahu tersebut selamat. Pertanyaannya, siapakah orang yang kamu pilih untuk dikorbankan?
jawabannya apa ni??? hehe


0 komentar:


Blogspot Templates by Isnaini Dot Com and Hot Car Pictures. Powered by Blogger